Laki-laki itu bangun dan merasa tubuhnya lemah. Ruangan tempat ia berbaring menghadirkan aroma yang jarang ia jumpai, tetapi ia yakin bahwa ia pernah mengunjungi tempat seperti ini.
Saat membuka mata, yang ia lihat pertama kali adalah selimut mirip kulit zebra yang menutupi separuh tubuhnya. Ia menggerakkan tubuh dan merasakan ngilu di perutnya. Ada sesuatu yang melingkar di sana.
Ia berusaha menjernihkan pikirannya, mencoba mengingat peristiwa apa yang terjadi sebelum ia berada di tempat ini.
Ia masih bisa mengingatnya.
***
Ruang di antara wajah Qasim dan wajah Iga Tirani amat sempit, barangkali hanya berjarak sekitar lima jari, sehingga napas Iga Tirani mengahantam wajah Qasim tiap kali ia mengembuskannya. Qasim tidak tahu berapa lama ia akan sanggup bertahan dalam posisi seperti itu.
Lagu High Hopes baru saja berputar di ponsel yang tersambung ke pelantang suara dengan volume rendah. Selama ini, benda itu ada di ruang tamu, tetapi pagi tadi Qasim memindahkannya ke dapur. Di antara wastafel dan kompor, tepat di hadapan punggung Iga Tirani, ada sebuah cermin yang menghadap ke ruang tamu dan dari cermin itulah Qasim tahu bahwa televisi masih menyala.
Seorang pria sedang bicara menghadap kamera. Jauh di belakangnya sebuah bangunan besar sedang dilalap api. Sebagaimana lazimnya sebuah tempat yang terbakar, baik disengaja maupun tidak, selalu ada orang-orang yang berupaya memadamkannya. Sejumlah mobil pemadam kebarakan terlihat berjejer agak jauh dari kobaran api. Pada bagian bawah layar televisi ada tulisan dengan huruf besar-besar. Mungkin itu judulnya. Dengan posisi seperti itu, sulit bagi Qasim membaca tulisan tersebut.
"Harus berapa kali kukatakan sampai kau benar-benar mengerti?" Iga mengatakannya sambil menekan ujung pistol ke perut Qasim.
“Harus berapa kali lagi kukatakan itu bukan salahku." Qasim membetulkan posisi pinggangnya, tapi Iga Tirani menekan lagi senjata itu di perutnya, lebih dalam dari sebelumnya.
"Boleh kukasih saran?"
"Silakan saja," katanya sambil membetulkan genggamannya pada gagang senjata.
"Aku kira, bagian paling tipis pada tepi meja ini bakal lebih dulu membunuhku ketimbang benda sialan yang kau tempelkan di perutku sekarang. Dengan menjauhkan pinggangku dari tepi meja ini usahamu membunuhku bisa berjalan dengan mulus dan keinginanmu bisa terpuaskan."
"Aku bisa saja menarik pelatuk ini sekarang."
Perempuan itu mengangkat pistol sejajar dengan wajahnya, sebelum melanjutkan, "Tapi itu terlalu sederhana. Lagi pula mana ada orang mati hanya karena pinggangya menempel terlalu lama di tepi meja? Aku yakin meja ini tidak akan sanggup mematahkan pinggangmu."
“Aku yakin pinggangku bakal patah kalau sampai duabelas jam ke depan posisiku masih seperti ini.”
Iga Tirani memandang Qasim selama beberapa detik, menghela napas panjang dan dalam, lalu berkata, "Tidak akan selama itu, percayalah."
Dijauhkannya pistol itu dari perut Qasim, melepas genggaman tangan kirinya pada leher kemeja Qasim, lalu mundur satu langkah kecil ke belakang. Qasim berdiri sambil memegang pinggang dan berusaha meregangkan otot-otot punggungnya yang, barangkali, terasa penat.
Iga Tirani menggaruk kepalanya dengan moncong pistol, sementara tangan kirinya bertopang pada pinggang. Qaim bilang, semestinya mereka bisa membicarakan masalah ini baik-baik.
Iga Tirani berhenti menggaruk-garuk kepalanya dan berkata, "Bukankah sekarang kita sedang membicarakan masalah ini baik-baik?"
"Iya, tapi tidak harus dengan ancaman begini juga."
"Oh, ok. Sekarang, mari kita bicara baik-baik."
Iga Tirani meminta Qasim naik ke atas meja sambil mengarahkan moncong pistol ke wajah Qasim.
Melihat Qasim bergerak amat lambat, karena terpaksa menuruti perintahnya, Iga Tirani merasa perlu mengambil tindakan cepat, seperti seekor kucing hitam menyambar ikan pindang hidup yang tubuhnya dibubuhi racun tikus kemarin.
Qasim telentang di atas meja dan Iga Tirani duduk di atas perut Qasim.
"Nah, sekarang tak ada yang bisa menghalangi bahkan mendahului keinginanku membunuhmu," kata Iga Tirani tersenyum. Qasim pernah melihat senyum sinis seperti itu dalam sebuah film.
"Kau tahu, tatapanmu mengingatkanku pada Alexandra Dadario di film Last Girls and Love Hotels," kata Qasim sebelum melanjutkan, "Kau seperti Alexandra Dadario."
"Kau seperti bocah yang mencuri sosis di warung gang sempit dan aku Alexandra Dadario yang lagi dasteran memergokimu, lalu melemparimu dengan sandal."
"Aku lari sambil tertawa dan mengolok-olokmu. Teman-temanku yang sedang duduk juga ikut tertawa."
"Karena kau kebanyakan tertawa, kau akhirnya jatuh ke selokan penuh lumpur. Teman-temanmu tertawa nyaring."
"Kau menghampiriku dan membantuku naik, lalu melemparku ke selokan lagi. Teman-temanku mendekat, tawa mereka nyaring dan dekat sekali."
"Lalu hari ini kau ada di sini, teman-temanmu tidak ada, cuma ada kita berdua. Sekarang mari kita bikin segalanya menjadi jelas."
"Semuanya sudah jelas, kan? Kucing itu mati dan itu bukan salahku."
"Jelas itu salahmu. Kau ceroboh dan akan selalu begitu. Andai kau tidak tolol dan tidak ceroboh kucing itu tidak akan mati. Kau meracuninya."
"Aku tidak mau meracuninya," Qasim berusaha meyakinkannya. "Aku mau meracuni anjing yang memangsa Iko."
"Membasmi tikus dengan membakar tumpukan jerami. Hmm, sebuah tindakan amat jatmika buat menyelamatkan hewan peliharaanmu adalah dengan mengorbankan hewan peliharaan orang lain."
"Sudah berkali-kali kukatakan jangan sebut dia hewan. Namanya Iko."
"Tapi faktanya ia ikan. Lebih tepatnya, ia ikan Koi. Ia mati tentu bukan salah si anjing itu. Kau membubuhi tubuh seekor ikan pindang hidup-hidup dengan racun dan kau meletakkannya di halaman depan hari itu. Tapi hari itu si anjing tidak datang. Kaktus, si kucing hitam yang tiap hari mondar-mandir di halaman depan, melihat ada seekor ikan pindang hidup yang sudah kau bubuhi dengan racun, lalu memangsanya. Ia tidak tahu ada racun di tubuh ikan itu. Dengan analisis paling buluk pun bisa dipastikan kau yang menyebabkan kematian Kaktus. Kau masih mau bilang itu bukan salahmu, hah?"
Tatapan mata Iga Tirani kian tajam dan Qasim merasa tak tahan menatapnya lama-lama. Di saat seperti ini, cara kerja ingatan bisa di luar dugaan.
Qasim tiba-tiba ingat sesuatu, barangkali buat mencairkan suasana yang membuatnya kikuk, Qasim bertanya pada Iga Tirani. "Kau tahu mitos kucing hitam?"
"Yang aku tahu cuma seorang lelaki tega meracuni seekor kucing hitam, sayangnya itu bukan mitos," jawabnya.
"Ayolah, ini serius. Siapa tahu ada hubungannya dengan Kaktus."
Iga Tirani menghela napas agak panjang, sebelum berkata, "Baiklah. Coba ceritakan."
"Aku pernah baca sebuah artikel yang membahas tentang hubungan antara kucing, anjing dan manusia. Yang menarik dari artikel itu adalah bahwa kucing hitam ada hubungannya juga dengan cuaca, dan fakta bahwa cuma kucing hitam yang bisa memutuskan kapan badai datang. Anjing, sang pelayan dewa badai, adalah lambang angin. Sementara si kucing hitam, semua kucing hitam, adalah simbol hujan deras. Nah, kalau si kucing hitam memandang ke luar jendela selama tiga hari berturut-berturut, berarti badai itu akan datang. Tiga hari sebelum kematiannya, kulihat Kaktus memandang ke luar jendela terus. Badai yang dimaksud artikel itu bisa apa saja, kan? Termasuk kematian Kaktus."
"Omong kosong. Semua yang kau ceritakan omong kosong belaka."
Iga Tirani menarik kerah kemeja Qasim, mendekatkan wajah Qasim dengan wajahnya dan menekan ujung pistol kuat-kuat di perut Qasim.
Sambil meraba-raba pistol di tangan Iga Tirani, Qasim berkata, "Hubungan kita juga omong kosong. Kau sendiri yang bilang begitu. Tapi kita sudah berjalan sampai sejauh ini. Kurasa tidak terlalu sulit bagimu menerima kenyataan bahwa masalah yang kita hadapi sekarang juga omong kosong. Kalau kau mau membuang jauh-jauh benda sialan ini dari hadapanku, aku bisa menunjukkan padamu omong kosong lainnya."
"Kukasih tahu dengan tegas, ya. Masalah tidak akan pernah selesai kalau kau berlindung di balik omong kosong."
Iga Tirani menarik slide ke belakang. Qasim bisa merasakan jari telunjuknya bergerak pelan pada pemicu, dan saat Qasim meluruskan kaki, suara benda jatuh ke lantai. Mereka sama-sama melihat ke sana. Sebiji gelas kaca hancur berkeping-keping di lantai keramik.
"Kau tenang saja," kata Iga Tirani. "Bisa kupastikan kau tak akan melihat pistol ini lagi kalau masalah kita sudah beres."
Di layar televisi, seorang pria yang berbicara menghadap kamera sudah tak ada. Kamera sudah berpindah ke sebuah jalan, menyoroti sebuah mobil melintas dengan kencang. Seorang laki-laki berjalan di tepi jalan yang sama dan meludah. Di tengah jalan, ada bangkai seekor tikus yang perutnya terburai. High Hopes masih mengalun dengan volume rendah. Itu satu-satunya lagu yang ada di memori ponsel Qasim setahun terakhir. Ia tidak tahu sudah berapa kali lagu itu berputar sejak ia menyalakannya pagi tadi.
David Gilmour tiba pada lirik the dawn mist glowing, the water flowing, the endless river, forever and ever, gitar melengking seperti kuda hingga music betakhir.
Pandangan Qasim menjadi kabur, semua bunyi-bunyian di sekelilingnya samar terdengar, dan ia merasakanpada salah satu titik di perutnyaada sesuatu yang mengalir dengan hangat.***