Karena tak mau perdebatanku dengan ibu kian meruncing, maka kuputuskan untuk menjauh dari rumah untuk menyendiri.
Proses terpenting dari menyendiri bagiku adalah kesempatan belajar memaknai sesuatu. Sesuatu di situ bisa berarti apa saja. Namun, pernyataan narator dalam cerita Seruan Cthulhu bahwa hal paling mengerikan adalah ketidakmampuan manusia memahami kerumitan pikirannya sendiri -- sempat membuatku malu dan menganggap pernyataan itu adalah cara lain mengatai aku dungu. Aku merasa pernyataan itu ditujukan hanya kepadaku.
Aku kira, alangkah mengerikannya diriku. Kini aku tak dapat melihat dengan jernih dan terang masalah yang kuhadapi. Awalnya kupikir tidak ada masalah yang berarti dalam hidupku dan aku bisa mengabaikannya. Namun, sampai suatu masa satu kata muncul dalam pikiranku secara tiba-tiba: Kepercayaan.
Bagiku, kepercayaan adalah keadaan di mana perasaan yang utuh muncul, bahwa semua orang bertindak dengan hati yang tulus dan sebening embun dan mereka akan menepati janji-janji yang pernah mereka ikrarkan. Tapi untuk menepati janji-janjinya manusia selalu berhadapan dengan waktu. Dan waktu akan selamanya menjadi penyebab hilangnya kepolosan seseorang. Seiring berjalannya waktu.
Tiap kali aku melihat ke belakang, penglihatanku jadi kian terbatas, kemudian menjadi gelap. Jika berada dalam kondisi paling gelap, aku akan mengenang hal-hal yang aku ingin lakukan di masa lalu, tapi tak bisa kulakukan. Aku akan bertanya-tanya apa yang akan terjadi di hari itu jika aku mengambil jalan yang berbeda.
Aku tidak punya jawaban, namun aku merasa didesak oleh kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin ini semua akan berakhir dengan penyesalan yang tak mampu kuhindari.
Untuk mengurangi penyesalan berlebih dan berlarut-larut, aku perlu membangun kebiasaan baru. Aku membiasakan diri saat bangun tidur menganggap diriku berada di tempat yang tidak kukenali. Tempat yang asing. Dinding dan atap plafon di atas kepalaku adalah benda-benda yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tapi aku masih bernapas seperti biasa. Kukuras ingatan malam-malam jauh sebelumnya, lalu menghimpun segumpal nyali kemudian bangkit dari tempat tidur.
Aku tahu ini tidak mudah. Bahkan bisa jadi lebih pelik. Namun, aku sudah siap terhadap kemungkinan bahkan yang paling buruk sekalipun.
Bismillah.
Ini langkah pertama yang berat dan lumayan menggidikkan. Kusentuh bantal dan guling. Kedua kakiku berpijak di lantai papan. Semua yang kusentuh dan kuinjak terasa dingin. Saat berdiri, kusempatkan untuk memeriksa seluruh suku cadang tubuhku: kepalaku masih di tempat seharusnya sebagaimana kaki, tangan, lidah, alis, dan mataku. Kuputuskan untuk mengendus-endus ketiakku. Baunya masih khas orang yang tidak mandi selama tiga hari, namun sedikit lebih wangi dari kandang kambing jantan. Akhirnya aku bisa melihat tempat lain.
Apakah ini alam baka?